Thursday, November 17, 2011

Siapa Pemimpin?


Siapa yang kita mahu untuk dijadikan pemimpin?
Mungkinkah pemimpin idola semacam ini?



Atau bagi kita, siapa pemimpin itu tidak penting.
Yang penting pemimpin itu tahu buat kerja..!

Ada benarnya apa yang kita fikirkan itu. Tetapi lagi pasti kebenarannya kalau akal kita itu bersandarkan pada apa yang digariskan al-Quran dan sunnah. 

"Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah." (An Nisaa 4:138-139).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu): sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagiaan yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim ” ( Al-Quran, Al Maidah:51)

“Hai orang2 yang beriman! Janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan. Dan siapa di antara kamu menjadikan mereka menjadi pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (Al Quran, At Taubah:23)

“Hai orang2 yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman atau pelindung)” (Al-Quran, An Nisaa:144)

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin, bukan orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, bukanlah dia dari (agama) Allah sedikitpun…” (Al-Quran, Ali Imran:28)

Pemimpin itu Daie!
“Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)
Seorang daie tidak membawa ummat ke arah jahiliyyah, malah tegas dalam membanteras jahiliyyah itu hingga ke akar umbi.
Imam Ibnu Katsir menukil satu hadith yang berbunyi :
“Barangsiapa menyeru dengan seruan-seruan jahiliyah maka sesungguhnya dia menyeru ke pintu jahanam.” Berkata seseorang : “Ya Rasulullah, walaupun dia puasa dan shalat?” “Ya, walaupun dia puasa dan shalat, walaupun dia mengaku Muslim. Maka menyerulah kalian dengan seruan yang Allah telah memberikan nama atas kalian, yaitu : Al Muslimin, Al Mukminin, Hamba-Hamba Allah.” (HR. Imam Ahmad)


Pemimpin harus jujur!
Dari Ma’qil ra. Berkata: Saya akan menceritakan kepada engkau hadith yang saya dengar dari Rasulullah saw. Dan saya telah mendengar baginda bersabda: “Seseorang yang telah ditugaskan Tuhan untuk memerintah rakyat, kalau ia tidak memimpin rakyat dengan jujur, niscaya dia tidak akan memperoleh bau Syurga”. (HR. Bukhari)


Jadilah pemimpin yang adil!
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: 
“Ada tujuh golongan manusia yang kelak akan memperoleh naungan dari Allah pada hari yang tidak ada lagi naungan kecuali naungan-Nya, (mereka itu ialah):
1. Imam/pemimpin yang adil;
2. Pemuda yang terus-menerus hidup dalam beribadah kepada Allah;
3. Seorang yang hatinya tertambat di masjid-masjid;
4. Dua orang yang bercinta-cintaan karena Allah, berkumpul karena Allah dan berpisah pun karena Allah;
5. Seorang pria yang diajak (berbuat serong) oleh seorang wanita kaya dan cantik, lalu ia menjawab “sesungguhnya aku takut kepada Allah”;
6. Seorang yang bersedekah dengan satu sedekah dengan amat rahasia, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya;
7. Seorang yang selalu ingat kepada Allah (dzikrullâh) di waktu sendirian, hingga melelehkan air matanya.
(HR. Bukhari dan Muslim)

“Hai orang-orang yang beriman! Tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Allah. Dan janganlah rasa benci mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, kerana itu lebih dekat dengan taqwa…” (Al Quran, Al-Maidah: 8) 


Ahmad Ramdan Zainordin
17 November 2011, 1.52PM
Volgograd, Rusia

Saturday, November 12, 2011

Berilmu Tanpa Berakhlaq

Kes 1 :

Ada seorang pelajar baru memasuki kuliah ilmu, lalu belajarlah ia dua, tiga hadith dari gurunya. Kemudian dia sudah menghafaz sedikit sebanyak ayat al Quran. Gurunya itulah satu-satunya yang dijadikan sumber rujukan. Segala-galanya yang betul datangnya dari gurunya. Pasti tiada salah. Lalu ia mula bermain dengan persoalan hukum. Sebab dirasanya diri sudah cukup ilmu untuk berfatwa. Mana-mana yang tidak berkenan atau bercanggah dengan pendapatnya dia mengatakan itu adalah sesat barat.

Sehinggakan habis dihukum ulamak yang muktabar, mujtahid adalah tersilap pandangan mereka. Dengan memberi alasan yang dirasanya paling kukuh - ulamak tidak maksum, berhujjah mestilah mengikut dalil yang paling sahih dan terkuat.

Malangnya - yang betul baginya adalah ulamak yang ia ikut, tetapi ulamak yang lain pasti salah. Pasti salah hadithnya, dan berkemungkinan aqidah ulamak itu terkeluar dari ahlu sunnah wal jama'ah. Manakala dalil yang terkuat baginya - juga sebenarnya adalah dari apa yang ia dapat sendiri dari kitab yang ia baca. Tentunya dalil itu juga dari ulamak yang ia taksubkan.

Bermulalah era baru yang dizikirkan di bibirnya adalah - itu haram, ini bid'ah, engkau sesat!



Kes 2 :

Seorang murid, sudah diajar akhlaq oleh gurunya. Tentang adab percakapan, adab menuntut ilmu. Adab berhadapan dengan guru. Entah di mana silapnya, tetap sahaja murid itu lancang mulutnya bila berbual dengan gurunya. Tidak ada perasaan hormat. Bengkeng, bidas, dan sebagainya untuk menunjukkan dirinya yang jahil itu adalah benar.





Tahu dan Faham

Zaman ini ada golongan pelajar yang bersemangat belajar ilmu hanya untuk tahu. Tetapi ia lupa - pengeTAHUan yang ia ada hanya sedikit. Akhirnya TAHUnya itu menjadikan ia merasa hebat. Menjadikan dirinya terasa betul. Ia tenggelam dalam TAHU tapi JAHIL akhlaq.

TAHU sahaja tidak cukup tanpa kefahaman. Orang yang hanya tahu gula itu manis, tidak sama dengan orang yang sudah merasai kemanisan gula apatah lagi dimana ia perlu digunakan kemanisan gula tersebut.

ALlah dan RasulNya mengajar kita agar mempunyai akhlak yang baik sesama manusia, samada dari segi pertuturan, perbuatan, bahkan dalam hati sendiri. Apatah lagi dengan sesama saudara Islam. Bukankah RasuluLLah diutuskan untuk menyempurnakan akhlaq, bahkan akhlaq RasuluLLah itu sendiri adalah al Quran?

Kita diajar untuk beradab kepada guru-guru, ustaz-ustazah, alim ulama kerana keutamaan mereka.



قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِى ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَ‌ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ 



Katakanlah lagi (kepadanya): Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang yang dapat mengambil pelajaran dan peringatan hanyalah orang-orang yang berakal sempurna.
(Az Zumar :9)

Bahkan di dalam urusan solat jemaah sekalipun, diutamakan adalah orang yang lebih yang mahir bacaannya di dalam al Quran.Telah dicontohkan oleh RasuluLLah di dalam peperangan Uhud, sahabat yang lebih banyak mengambil al Quran didahulukan untuk dimasukkan ke dalam liang kubur.

Dari Jabir r.a :
Sesungguhnya Nabi SallaLLahu 'alaihi wasallam telah menghimpunkan antara dua orang lelaki dari mereka-mereka yang terbunuh di dalam peperangan Uhud iaitu di kubur, kemudian baginda bersabda :"Yang manakah dari keduanya yang lebih banyak mengambil al Quran?". Apabila ditunjukkan kepada salah seorang dari keduanya, baginda mendahulukan (orang yang tersebut) ke dalam liang lahad. (Riwayat Bukhari)

 Hakikat Ilmu Yang Kita Ada

Adab sebagai pelajar, jika ilmu masih sedikit (hakikatnya ilmu manusia tiada yang banyak melainkan ALLah yang Empunya Ilmu), masih bertatih tahulah berakhlaq. Sedangkan para ulamak yang faqih, berkelana di bumi ALLah untuk mencari ribuan guru, bahkan menulis kitab-kitab yang menjadi rujukan hingga kini amat menjaga akhlaq sesama guru dan ulama yang lain. Sehinggakan sifat yang tercerna dari diri mereka menjadi ikutan bagi ulama yang takutkan ALLah.


إِنَّمَا يَخۡشَى ٱللَّهَ مِنۡ عِبَادِهِ ٱلۡعُلَمَـٰٓؤُاْۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُور


Sebenarnya yang menaruh bimbang dan takut (melanggar perintah) Allah dari kalangan hamba-hambaNya hanyalah orang-orang yang berilmu. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, lagi Maha Pengampun.
(Al Fatir : 28)


Oleh itu wahai pelajar, jika para ulama yang hebat ilmunya itu sendiri amat menjaga tutur katanya, tidak bermudah-mudah berhukum dengan apa yang tidak mereka ketahui. Mengapa kita sendiri yang amat sedikit ilmu tidak belajar untuk merendahkan diri?. Adakah akhlaq itu tidak termasuk di dalam halal dan haram di dalam perhubungan sesama manusia? Sudah bolehkah kita berlaku sombong dengan ilmu yang sedikit sedangkan kita lupa ilmu yang kita ada juga boleh ditarik pada bila-bila masa?.

Ilmu tanpa akhlaq menunjukkan kita sendiri menghina ilmu yang diberi oleh ALlah.